Pojok Islam - Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya Mukhtashar Minhaj al-Qashidiin menegaskan bahwa dosa kecil (sedikit) bisa jadi dosa bukit (besar) karena beberapa sebab berikut :
Dilakukan secara terus-menerus
Sabda Rasulullah SAW :
"Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus (tidak ditaubati), dan tidak ada dosa besar jika di-istighfari." (HR. ad-Dailami)
Dosa besar yang telah berhenti dilakukan memiliki kans lebih besar untuk mendapat pintu ampunan ketimbang dosa kecil yang terus dilakukan. Ibarat tetes air yang terus menetes di atas batu, memiliki peluang lebih besar untuk melubangi batu ketimbang air dalam volume besar yang ditumpahkan ke atasnya hanya dalam satu kali tumpahan saja.
Dalam satu haditsnya, Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
"Dan ketahuilah, sesungguhnya amal baik yang paling disukai Allah SWT adalah yang paling bertahan lama, meskipun amal tersebut hanya sedikit." (HR. Imam Muslim)
Dalam satu haditsnya, Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
"Dan ketahuilah, sesungguhnya amal baik yang paling disukai Allah SWT adalah yang paling bertahan lama, meskipun amal tersebut hanya sedikit." (HR. Imam Muslim)
Apa yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi karakter manusia, karena karakter akan terbentuk melalui kebiasaan, bukan melalui hal-hal yang bersifat sporadis maupun instan.
Dosa yang dianggap kecil.
Anggapan bahwa suatu dosa adalah kecil, menandakan bahwa seseorang tidak bisa menjaga etikanya kepada Allah SWT.
Dalam hal ini Sahabat Anas bin Malik berkata,"Kalian melakukan beberapa dosa/kesalaham yang dalam pandangan kalian lebih halus daripada rambut, padahal pada masa Rasulullah SAW dulu, kami menganggapnya sebagai dosa yang sangat berbahaya."
Semakin benci seseorang terhadap satu dosa, maka semakin berat dosa itu dimatanya, sebaliknya semakin suka seseorang terhadap satu dosa, maka semakin remeh pula dosa itu dalam pandangannya.
Perasaan senang dan bangga pada satu dosa.
Orang yang berbuat dosa seraya tertawa bangga jelas tidak sama dengan orang yang menangis dan menyesali.
Kebanggaan pada satu dosa nampaknya saat ini seolah lumrah terjadi, padahal hal itu sangat berbahaya, karena secara tidak langsung ia telah; menghina ajaran Allah SWT, menganggap baik perbuatan dosa itu dan telah mengajak orang lain untuk meniru perbuatan dosa tersebut.
Melakukan dosa secara terang-terangan.
Ketika seseorang melakukan dosa secara terang-terangan, maka lambat laut bisa menimbukkan stigma dalam masyarakat bahwa dosa itu adalah hal yang biasa. Akibatnya hilanglah beban moral dan rasa malu masyarakat dalam melakukan dosa tersebut.
Melakukan dosa di tempat atau diwaktu-waktu mulia.
Dosa yang dilakukan di masjid atau dilakukan di bulan Ramadhan misalnya akan menyebabkan dosa tersebut menjadi lebih berat karena ada unsur melanggar kehormatan masjid dan bulan suci.
Dilakukan oleh orang yang menjadi panutan.
Kesalahan yang dilakukan oleh orang alim atau orang yang menjadi panutan berpontensi akan ditiru oleh masyarakat awam. Maka ketika orang alim atau orang yang berpengaruh melakukan sebuah dosa, sangat mungkin dosa itu akan menjadi dosa jariyah, dosa yang terus mengalir karena terus dilakukan dan dicontoh oleh orang lain.
Karenanya Ibnu Qudamah al-Maqisi kemudian menegaskan sebisa mungkin orang alim atau tokoh panutan menghindari berbuat dosa dan kesalahan. Dan kalaupun misalnya ia berbuat salah dan dosa, jangan sampai diketahui masyarakat luas sebab apa yang dilakukannya rentan ditiru orang lain.
Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita sekalian sehingga kita bisa selalu ihtiyaathan (hati-hati) dalam berperilaku. Jangan sampai dosa sedikit (kecil) yang kita lakukan bisa jadi dosa bukit (besar) karena kurangnya pemahaman hingga kita bisa terjerumus dalam jurang nista dan murka Allah SWT.