Pojok Islam - Cerita Motivasi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Nasibmu Kini...saya buat karena hati tergelitik sakit.
Meski saya bukan seorang pendidik di sebuah lembaga pendidikan formal, tapi saya sangat berempati dengan nasib para pendidik generasi bangsa ini.
Ada sebuah kata-kata motivasi berbentuk nadzom dalam kitab ta’liimul muta’allim yang artinya,”Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan bisa memberi kesehatan (jasmani dan ruhani) jika mereka berdua tidak dihormati”.
Akhir-akhir ini kita mata kita dibelalakkan oleh berbagai kasus guru dan murid hingga berujung ke meja hijau.
Guru menjewer kuping siswanya yang nakal dipidanakan, guru mencubit murid yang melanggar aturan malah dipolisikan, bahkan kasus terakhir yang agak heboh di Makassar adalah guru yang memperingatkan siswanya yang tidak mengerjakan tugas dan sedikit memberi hukuman, malah dihajar habis-habisan oleh orang tua siswa bahkan oleh si siswa sendiri. Amboi,,,Indonesiaku.
Dan saya yakin masih banyak kisah penderitaan para guru atau “cerita guru jadi kambing hitam” yang tidak diberitakan karena di peti es-kan atau cuma berakhir di meja perdamaian.
Saya ingin menulis cerita dan kisah pribadi yang menerawang ke tahun '80-an silam.
Bedugul, tempat kelahiran saya. Sebuah daerah terdingin di Bali selain Kintamani. Tidak ada cerita musim panas di Bedugul alias cool and cool everytime.
Saya berjuang keras menerobos dingin setiap malam bersama saudara dan teman-teman seperjuangan, berjalan kaki hampir 2 km. setiap hari ke masjid hampir 6 tahun lamanya.
Saya berjuang keras menerobos dingin setiap malam bersama saudara dan teman-teman seperjuangan, berjalan kaki hampir 2 km. setiap hari ke masjid hampir 6 tahun lamanya.
Tidak ada cahaya listrik sama sekali, jadi kami bergantian setiap hari membawa obor untuk berjalan dan minyak tanah untuk penerangan di kediaman guru kami (Alm. KH. Habibullah dan Almh. Nenek Rahimah) ,,”Semoga Allah senantiasa menyayangi dan meridhoi mereka berdua”. Mereka berdua adalah salah satu sumber inspirasi dan motivasi hidup kami hingga sampai seperti saat ini.
Ba’da Ashar kami mengaji fiqih dan tauhid kepada KH. Habibulloh, dan sesudah maghrib ngaji Qur’an pada Nenek Rahimah.
Pecut bambu selalu ada dalam genggaman mereka, siap melecut tubuh kami yang tidak konsentrasi, mengantuk atau tidak bisa membaca atau menjawab pertanyaan.
Saya mungkin tidak masuk golongan itu, sehingga tidak pernah terkena cemeti amal bambu, hehe.
Selama bertahun-tahun mengaji, belum pernah saya menyaksikan orang tua yang protes karena anaknya dipukul, belum pernah ada orang tua yang demo, atau tidak pernah ada kasus orang tua yang balik memukul Abah (Sebutan kami untuk KH. Habibulloh). Malahan, anak yang melapor karena di pukul Abah, ditambahi pukulan lagi oleh ayahnya,”Kamu nakal sihh..!!”
“Ahhh…zaman kan sudah berubah, jangan dibandingkan dulu dan sekarang..!!”,Kata salah satu teman dalam diskusi ringan.
Oke, zaman sudah berubah bos, tetapi apakah tata-krama, moral dan etika kita yang bersumber dari aturan agama yang sempurna juga mesti berubah?? Tidak khan..??
Zaman saya sekolah SD, menyanyikan lagu “Hymne Guru” saja membuat kami meneteskan air mata mengiringi kepindahan seorang guru, padahal pindahnya cuma ke sekolah sebelah (masih satu kampung). Apalagi jika syair lagunya mencapai klimaks.."Engkau Patriot Pahlawan Bangsa, Tanpa Tanda Jasa".
Sekarang..??? Guru yang dianggap “kejam” malah didemo dan dipaksa pindah sebelum waktunya, atau dipaksa re-sign. Nasiib..!!
Kini, setelah saya lepas dari Pondok Pesantren (PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo), walau hanya numpang lewat saja di sana, baru saya sadari betapa petuah para Kyai dan Asaatidz saya di Ma'had itu begitu bermakna dalam.
Sering beliau-beliau berkata,”Kami sebagai pengajar di Pesantren, sangat berterima kasih pada guru-guru kalian di kampung, di musholla, di surau atau langgar. Mereka sangat telaten dan tekun mengajari kalian mulai dari nol. Dan kami di sini sudah tinggal mematangkan kalian. Karenanya jangan lupakan jasa mereka, do’akan selalu mereka agar ilmu kalian menjadi ilmu yang manfaat dan barokah”.
Semoga kita bisa menjadi pribadi yang bijak dalam menyikapi setiap peristiwa. Untaian kata mutiara yang terkandung dalam Nadzom Ta’liimul Muta’allim di awal tulisan mungkin se-makna dengan lagu “Hymne Guru”, yakni memberikan apresiasi dan penghormatan kepada “para pahlawan tanpa tanda jasa” yakni para guru dan asaatidz/asaatidzah sebagai orang-orang yang punya andil besar guna mencetak mental dan karakter putra-putri kita.
Semoga putra-putri dan generasi muda Islam kita akan menjadi seperti dambaan setiap orang tuanya yakni “QURROTA A’YUN” (Menjadi penyejuk mata/hati orang tuanya).