Pojok Islam - Kisah Islami Merangkat, kawin lari ala Pegayaman Bali saya angkat dengan niat semoga menjadi tambahan referensi bagi para pembaca dan pengamat budaya Nusantara, bahwa kita memiliki begitu banyak tradisi, adat istiadat dan cerita yang luar biasa beragam.
Selain itu, saya ingin memperkenalkan lebih jauh kepada saudara-saudaraku Muslim di Indonesia akan keberadaan sebuah Kampung Muslim di Bali yang dikelilingi oleh saudara-saudara kita yang beragama Hindu.
Bagi masyarakat Muslim di Pulau Bali, nama Desa Pegayaman mungkin sudah tidak asing lagi. Tapi bagi kalian yang di luar Bali, sekedar info bahwa Pegayaman adalah salah satu Kampung Muslim di Bali (hampir 100% penduduknya Muslim) selain ada juga beberapa kampung Muslim lainnya di Pulau Bali.
Bagi masyarakat Muslim di Pulau Bali, nama Desa Pegayaman mungkin sudah tidak asing lagi. Tapi bagi kalian yang di luar Bali, sekedar info bahwa Pegayaman adalah salah satu Kampung Muslim di Bali (hampir 100% penduduknya Muslim) selain ada juga beberapa kampung Muslim lainnya di Pulau Bali.
Letaknya kurang lebih 12 km. arah selatan kota Singaraja. di ketinggian 300-800 meter di atas permukaan laut.
Sebagai kampung Muslim, tentu saja memasuki Desa Pegayaman suasana Islaminya langsung terasa dengan banyaknya musholla dan pesantren yang santri-santrinya melafalkan al-qur'an dan sholawat (diba'an).
Pegayaman juga sangat kuat memegang tradisi (adat) yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Sebagai orang yang masih ada darah Pegayaman mengalir di tubuh saya, salah satu tradisi yang menarik hati saya dari dulu untuk menuliskannya adalah tradisi tatkala seorang anak ingin menikah dengan pilihan hatinya.
Ada dua tata-cara tradisi perkawinan yang ada di Pegayaman, yaitu :
1. "METIKAH" yakni pernikahan yang dilakukan oleh satu pasangan dengan didahului prosesi yang mungkin juga lazim dilakukan di daerah lain, hanya saja mungkin istilahnya yang beda, seperti meminang (istilah Pegayamannya "Ngidih") dan penentuan dana, hari H serta tehnis acara (istilahnya "nyangkreb").
2. Yang kedua ini yang menarik..."MERANGKAT" yakni pernikahan yang dilakukan oleh satu pasangan tetapi sebelumnya telah diawali proses yang agak panjang dan dramatis serta diakhiri pula dengan sebuah prosesi berliku. Umumnya "merangkat" dilakukan karena ada penolakan dari pihak perempuan atau pihak perempuan kurang setuju dengan calon suami. Boleh dikatakan "merangkat" adalah kawin lari ala Desa Pegayaman.
Peristiwa "merangkat" secara koronologis bisa saya uraikan kurang lebih sebagai berikut:
a). Pihak lelaki telah memastikan bahwa pihak perempuan tidak setuju dengan putra mereka.
b). Maka pada saat "NGANGGUR"(apel malming lewat balik jendela)* si lelaki mengajak si perempuan untuk "merangkat" (kawin lari), dan si perempuan menyatakan setuju.
c). Keluarga lelaki bermusyawarah, untuk menentukan siapa saja yang dilibatkan dalam proses mengambil si wanita. Yang dilibatkan adalah keluarga yang memilliki fisik yang kuat terutama dalam berlari (anggap saja si A dan si B), karena akan ada 2 tugas yang dibebankan yakni si A pada jam yang telah ditentukan akan menjemput dan membawa si wanita berlari (umumnya si wanita keluar lewat jendela atau pintu belakang) dan si B bertugas memberitahu kepada keluarga perempuan bahwa putrinya akan "merangkat" dengan lelaki yang identitasnya diberitahukan. Pemberitahuan ini akan dilakukan setelah dipastikan bahwa si A dan si wanita posisinya telah cukup jauh dari rumahnya dan tidak akan terkejar oleh keluarga wanita. Tentu juga resikonya adalah si B bisa saja akan dikejar oleh keluarga si perempuan apabila mereka tidak terima. Karenanya, si B idealnya adalah orang yang gesit, serta minimal menguasai satu dua jurus pencak silat, khawatir ada hil-hil yang mustahal (namun ini jarang sekali terjadi). hehehe..
d). Dua atau tiga hari menjelang hari pernikahan, ada lagi utusan dari pihak lelaki memberitahukan kepada pihak perempuan tentang hari pernikahan, dengan harapan wali mujbirnya (ayah/kakek/saudara lelakinya, dst.nya) ikhlas menerima kenyataan dan berkenan hadir dan menjadi wali nikah. Jika tidak berkenan hadir maka yang menikahkan akan diwakilkan secara lisan kepada tokoh masyarakat atau orang yang ditunjuk oleh wali mujbirnya.
e). Barulah setelah pernikahan dilaksanakan, ada proses selanjutnya yang dinamakan "NGUNYE", yakni pasangan pengantin beserta rombongan keluarga lelaki akan mendatangi satu persatu keluarga perempuan yang di-tuakan dimanapun dia berada dan masih memungkinkan dicapai. Proses ini sebagai bentuk permintaan maaf pihak lelaki atas peristiwa "merangkat" yang telah terjadi, karena biasanya jika ada perisitwa "merangkat" akan jadi isu hangat di masyarakat Pegayaman.
Beramai-ramai keluarga lelaki mendatangi mereka dan akan membawa berbagai macam kue khas Pegayaman untuk diserahkan. Kue "ngunye" yang paling khas adalah "Jaje Cerorot" (kue dengan adonan tepung dan gula aren dibungkus dengan janur kelapa dan daun pisang).
f). Jika proses "ngunye" telah terlewati, maka hubungan kedua keluarga yang semula memanas otomatis akan lunak dan harmonis, saling mengikhlaskan serta seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Itulah sekilas gambaran cerita tentang Merangkat, kawin lari ala Desa Pegayaman Bali, salah satu tradisi unik dikampung leluhur saya, Desa Pegayaman. Lain waktu akan dishare lagi tradisi unik lainnya. Wassalam...