Cerita Islam Nusantara : BORDE, QOSIDAH BURDAH KHAS MUSLIM PEGAYAMAN BALI
























POJOK ISLAM - Kisah Islam "Bordah" Seni Islam Khas Desa Pegayaman Bali Yang Hampir Punah", semoga bisa mewakili kegelisahan hati putra daerah yang gundah melihat satu per-satu khazanah dan warisan budaya semakin tergerus lajunya zaman.

Saya mulai dengan sebuah satuwe/Bahasa Bali yang artinya cerita :
Sayup-sayup satu malam ba’da isyak hingga menjelang pagi hari,  dari sebuah rumah yang akan menggelar hajatan pernikahan di sebuah Kampung Muslim Bali bernama Desa Pegayaman, terdengar tetabuhan rebana diiringi suara syair khas Bali yang tinggi melengking.
Sepintas seperti lagu kekidungan Bali, tapi coba perhatikan dengan teliti bacaan mereka. Ternyata itu bukan kidung Hindu yang dinyanyikan oleh bapak-bapak tersebut. Ini salah satu  potongan syair yang dibaca :

أمنْ تذكر جيرانٍ بذى ســــلمٍ - مزجْتَ دمعا جَرَى من مقلةٍ بـــدمِ
أَمْ هبَّتِ الريحُ مِنْ تلقاءِ كاظمـــةٍ  - وأَومض البرق في الظَّلْماءِ من إِضـمِ

Ya, itu adalah potongan syair dari Qosidatul Burdah-Nya Imam Busyiri dalam kitab Al_barzanji.

Ikhwanii fillaah…..
Di Desa Pegayaman, kesenian itu disebut Bordah, sedang alat musik/rebananya disebut Burde. Mungkin karena terpengaruh dengan pelafalan  lidah orang Bali yang serba menyebutkan akhiran “a” dengan “e”. Sukadana disebut sukedane, Yasa dipanggil Yase, begitu juga Burdah dilafalkan “burde”.
Wallahu a’lam...

Bordah merupakan salah satu kesenian khas Islami yang berkembang di Desa Pegayaman. Kesenian ini diperkirakan  sudah ada sejak 1886 atau akhir abad XVIII silam. Seni ini merupakan seni vokal khas yang sepintas mirip kidung atau kekawitan Hindu Bali, yang diiringi dengan alat musik yang disebut borde. Seni yang bernuansa Islami ini mungkin satu-satunya kesenian yang hanya ada di Desa Pegayaman.

Saking lamanya tinggal di kawasan yang mayoritas beragama Hindu-Bali, lambat laun masyarakat Desa Pegayaman menyerap dan mengolaborasikan budaya Bali dalam kehidupan kesehariannya. 
Hal yang paling nyata dapat kita lihat dalam kesenian Bordah. Kesenian ini bernafaskan Islam namun dikemas dengan Budaya Hindu Bali. 
Pakaian yang dipakai, hampir tidak berbeda jauh dengan masyarakat Hindu yang hendak me-bhakti atau piodalan ke Pura (mengenakan pakaian adat Madya).
Meski syair yang dinyanyikan dipetik dari QOSIDATUL BURDAH karangan Imam Busyiri dari kitab Al-Berjanzi yang berisi kisah Nabi SAW, kata mutiara dan nasehat hidup, namun liuk suara vokalnya  identik dengan kekidung/lagu Hindu Bali.
Saya pribadi pernah ikut berlatih dalam kelompok Burde ini selama 4 bulan, dan terasa sekali tingkat kesulitannya dalam menabuh sekaligus melafalkan syair Burdah dalam waktu bersamaan.

Menurut sejarah, Burde ini merupakan genderang yang digunakan oleh orang Tiongkok dalam peperangan. Selanjutnya alat musik ini sampai ke kerajaan Bone di Makassar. Dari sinilah asal muasal kesenian Bordah, mengingat nenek moyang atau leluhur orang Pegayaman berasal dari Bugis. 
Sesampainya di Bali, kesenian ini mendapat sentuhan budaya Bali mengingat leluhur mereka terutama kaum ibu berasal dari suku Bali. 


Selain pakaian, lantunan syair kitab Al-berzanji juga mirip dengan kidung atau nyanyian suci orang Bali saat menggelar upacara yadnya. Tidak terlihat sama sekali lafal lidah arab dalam mengumandangkannya. Hal ini berbeda jauh dengan budaya Islam lainnya yang ‘Arabsentris’ ketika membaca ayat-ayat suci. Dalam permainannya juga mirip dengan budaya Bali yaitu “makekawitan” (kidung Bali utama atau sekar agung), terkadang ditampilkan juga tarian dari beberapa anggota menggunakan selendang seperti kesenian Joged Bungbung Bali.
Secara bergantian mereka membawakan satu persatu bait yang terdapat dalam kitab tersebut. 

Penampilan sekehe/group Burdah hanya ditampilkan pada sesi acara khusus, yakni :
1. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, sebagai hari raya yang paling semarak        dan meriah      di Pegayaman. Mereka tampil pada malam 12, 11, dan 12 Rabi’ul Awwal di Masjid           Jamik          “Safinatussalam” Desa Pegayaman.


2. Tampil diundang untuk mengisi acara hajatan pernikahan atau khitanan salah satu anggota                   masyarakatnya. Biasanya tampil semalam suntuk, sembari menghibur ibu-ibu yang begadang              memasak di dapur.
3. Kesenian ini juga kerap digunakan untuk proses penyembuhan. “Jika ada warga yang sakit                   keras, biasanya mereka diundang untuk melantunkan syair-syair burdah yang ada di kitab Al-             Barjanzi di dekat orang yang sakit.

Alat Borde terbuat dari pangkal pohon kelapa, dengan diameter mencapai 55 cm. dan lebar 15-20 cm, bagian dalam kayu kelapa dilubangi dan dibersihkan. Bagian atas kemudian dipasangkan kulit sapi atau kerbau yang sudah menjalani prosesi pengolahan sebelumnya. Untuk menguatkan kulitnya digunakan penyalin (kayu rotan) yang disebut dengan seda’ sehingga  menghasilkan suara dengan tinggi nada bervariasi. 

Namun, sayangnya seiring berjalannya waktu, seni ini kini nampaknya semakin memudar, disebabkan sulitnya mencari minat dari generasi muda yang potensial. Disamping karena sudah makin banyaknya seni khas Islami yang lain seperti Hadrah Al-Banjari Kontemporer yang dianggap lebih simpel,jJuga mungkin disebabkan karena banyak generasi muda yang melakukan urbanisasi  dan merantau mencari pekerjaan ke luar daerah.

Karenanya, judul posting saya tentang "Bordah Seni Khas Islam Pegayaman Bali Yang Hampir Punah", semoga akan jadi bahan kajian dan pemikiran bagi para penglingsir/sesepuh Desa Pegayaman, Pemerintah maupun stake-holder pemerhatia budaya,  agar bagaimana salah satu seni Islam khas ini tidak akan cuma jadi kisah dan cerita islam bagi anak cucu kita saja, tetapi tetap lestari demi syiar dan tegaknya Islam.