Pojok Islam - Ada pendapat sebagaian orang bahwa bulan Shafar adalah bulan yang angker. Ada juga yang meyakini bahwa Shafar adalah bulan sial atau bulan naas. Karenanya, siapa saja harus waspada kalau tidak ingin menyesal dikemudian hari, begitu kata mereka. Bahkan keyakinan ini sudah turun termurun dan demikian melekat di hati sebagian masyarakat kita.
Beragam cara dilakukan untuk menunjukkan kewaspadaan itu. Salah satunya tradisi rebo wekasan atau hari rebo terakhir di bulan shafar.
Ada yang bikin bubur shafar, minum air berisi rajah, bahkan ada yang tidak mau menikah atau bepergian jauh pada bulan ini, atau melaksanakan sholat li-daf'il bala' untuk menangkal setiap bala' yang bakal turun.
Sampai saat ini, hal tersebut masih menjadi pro-kontra di tengah masyarakat. Bagi yang pro, akan benar-benar men-sakralkan bulan ini sehingga berbagai ritual dan ibadahpun dilakukan. Sementara yang kontra akan menganggap semua hanya mitos, sama sekali tidak ada dasar hukumnya dan konsekwensinya, mereka tidak berbuat apa-apa.
Mereka yang pro dan meyakini shafar sebagai bulan turunnya bala', boleh jadi mendasarkan amaliyahnya pada satu kitab kesohor di Jawa yakni kitab Mujarrabat.
Konon bala' itu turun pada hari rabo terakhir bulan Shafar yang akhirnya disebut dengan Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.
Dalam Kitab Mujarrabat-nya Syaikh Ahmad Dairoby di akhir bab XVIII, disebutkan :
"Dari kalangan orang-orang arif dan ahli kasyaf ada yang menuturkan bahwa setiap tahun turun 3200 bala' (malapetaka) dan itu semua turun pada hari rebo terakhir bulan shafar. Sehingga hari itu menjadi hari paling naas dalam satu tahun. dst. (Mujarrabat Ad-dairaby, 74 ; Tadzkiroh Ulu al-Albab, juz II hal. 195 ; Kanzunnajah wa as-Suruur, halaman 26 - 27)
Uraian inilah yang sering dijadikan referensi bagi sebagian kaum Muslimin dalam men-sakralkan bulan Shafar dan Rebo Wekasan. Yang jelas semua dibangun berdasarkan perkataan ahli kasyaf, dan tidak bersumber dari teks Al-Qur'an dan Hadits.
Bagaimana kemudian hukumnya meyakini hari itu sebagai hari turunnya bala' ?
Ada hadits Nabi SAW yang menjelaskan persoalan ini :
"Tidak ada naas ketika berhadapan dengan orang yang sakit, tidak ada naas ketika turun burung hantu, dan tidak ada naas di bulan Shafar". (Muwatha' , 629).
Jelaslah, bahwa keyakinan turunnya bala' di bukan Shafar patut dipertanyakan, karena tidak ada dasar sama sekali baik dalam Qur'an maupun hadits. Yang ada justru hadits yang melarang ber-tasya'um (menganggap na'as) terhadap bulan tersebut.
Bagaimana dengan praktek sholat rebo wekasan yang dijalankan sebagaian saudara kita? Apa hal itu juga dilarang ?
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
"Tidaklah berkumpul suatu kaum yang shalat semata-mata karena Allah pada hari Rebo terakhir bulan Shafar kecuali Allah akan menyelamatkan mereka dari malapetaka". (HR. Imam At-Thabrani)
Artinya, dari hadits tadi secara eksplisit dijelaskan anjuran shalat pada hari Rebo terakhir bulan Shafar namun tidak secara tegas menamainya dengan "Shalat Rebo Wekasan".
Sebaliknya, teks hadits tersebut mengindikasikan bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat sunnah muthlaq atau shalat sunnah lain yang dianjurkan, dengan kata lain tidak diniati shalat sunnah Rebo wekasan.
'Alaa kulli haal..silakan melakukan ritual apa saja di bulan Shafar asalkan ritual tersebut tidak bertentangan dengan syara'. Dan yang terpenting adalah jangan menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial.
Sebab semua nasib baik dan buruk datangnya dari Allah SWT. (Sumber : Tanwirul Afkar, Ma'had Aly - Sukorejo)
