Pojok Islam - Bung Karno dalam pidato Hari Pahlawan tanggal 10 November 1961 menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. Pertanyaannya adalah apakah kita sebagai bangsa sudah memberikan penghormatan kepada para pahlawannya?
Selanjutnya, siapakah yang layak disebut pahlawan?
Apabila kita membaca sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa, jawabannya adalah mereka yang berjuang memerdekakan bangsa ini dari kolonialisme penjajah asing dan mereka yang berani mengibarkan bendera merah putih serta bertempur dengan gagah berani melawan pasukan Inggris dan Belanda adalah para pahlawan. Dalam konteks ini, kita setuju itu bahwa dari gerakan itulah kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di republik ini untuk bersama-sama melawan dan menghancurkan para kolonialis.
Namun, apakah kita yang hidup di era kemerdekaan yang sudah merdeka lebih dari 71 tahun ini juga sudah memiliki para pahlawan yang kemudian ikut melanjutkan estafet perjuangan membangun bangsa. Kita semua kemudian layakkah disebut para pahlawan?
Realita di depan mata menyebutkan, selama kita masih memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan golongan dalam konteks apapun perjuangan itu, sesungguhnya kita tidak bisa menamakan diri sudah berbuat untuk bangsa dan semua. Kepentingan golongan selama itu menjadi komandan utama akan selalu menjadikan mata dan hati kita buta terhadap nasib jutaan rakyat dan mereka yang terlantar.
Dalam konteks hukum dan penegakan hukum, sangat ironis membaca dan mengamati para penegak hukum kemudian terkadang masih menjalankan penegakan hukum yang tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah.
Dalil dan pasal pun kemudian dimanipulasi dengan sedemikian rupa untuk memenangkan kepentingannya walaupun kemudian itu merusak dan menghancurkan kepentingan yang lebih besar. Korban dan tumbal utama adalah mereka yang secara kekuatan hukum lemah dan memang sudah dilemahkan.
Hari demi hari dan waktu demi waktu, menjadi semakin sulit dan susah menemukan manusia-manusia suci dan bersih yang dapat disebut sebagai pahlawan hukum yang memperjuangkan keadilan.
Dalam konteks politik, kondisinya pun kurang lebih sama buruknya dimana para politisi kita yang berada di Senayan dan di daerah sudah semakin kehilangan akal sehatnya untuk memperjuangkan rakyat.
Sandiwara politik kerap menjadi permainan mereka agar dikesankan memperjuangkan nasib rakyat. Pahlawan politik yang bekerja di legislatif dengan tugas pokoknya di bidang legislating, budgetting, dan controlling sudah jarang di republik ini.
Dalam konteks pendidikan juga demikian.
Salah satu contoh sederhana adalah mengenai bantuan operasional sekolah (BOS) yang dikhususkan untuk mereka yang tidak mampu. Penyalurannya tidak tepat sasaran dan bahkan masih sering terjadi pungutan liar dari oknum sekolah yang mengakibatkan orangtua siswa harus menambah biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Pertanyaannya adalah apakah mereka dapat disebut sebagai pahlawan pendidikan?
Salah satu contoh sederhana adalah mengenai bantuan operasional sekolah (BOS) yang dikhususkan untuk mereka yang tidak mampu. Penyalurannya tidak tepat sasaran dan bahkan masih sering terjadi pungutan liar dari oknum sekolah yang mengakibatkan orangtua siswa harus menambah biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Pertanyaannya adalah apakah mereka dapat disebut sebagai pahlawan pendidikan?
Dalam konteks pangan juga demikian, dimana negara seharusnya bertanggung jawab sepenuhnya terhadap nasib rakyatnya agar tetap bisa makan dengan harga beras dan kebutuhan pokok lain yang terjangkau, itu pun semakin jauh dari kenyataan. Perlindungan negara terhadap para petani juga sudah ibarat menegakkan benang basah. Kemana para pahlawan pangan masa kini?
Menjadi pahlawan tidak harus mendapat apresiasi dari negara dan siapapun di manapun kita berada. Siapapun bisa menjadi pahlawan, selama itu diniatkan bagi kepentingan hajat hidup orang banyak. Melakukan kerja-kerja kebaikan yang kemudian melahirkan kebajikan-kebajikan publik dapat disebut kerja-kerja para pahlawan.
Mampukah kita menjadi pahlawan di tengah kehidupan kita masing-masing walaupun itu merupakan pekerjaan berat?
Terlepas apapun jawabannya, selama yang kita lakukan dimulai dari kerja yang tulus dengan jiwa yang ikhlas, kita setidaknya sudah berbuat untuk publik. Kita kemudian sudah meneruskan perjuangan para pahlawan era pra-kemerdekaan. Semoga. (Sumber : Banjarmasin Post)
