Pojok Islam - Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam dikenal sebagai sosok yang ramah, berbudi luhur, dan teladan bagi semua orang. Semua akhlaknya harus kita tiru. Rasulullah dalam berbagai shirah-nabawiyah diterangkan sebagai pribadi yang disenangi para sahabat, dan kita jarang mendengar kisah Rasulullah marah.
Ternyata, bukan berarti beliau tidak pernah marah. Rasulullah pun pernah marah. Nah, bagaimana dan kenapa Rasulullah marah? Apakah marah seperti halnya kita pada umumnya?
Terkadang, marah kerap diidentikkan dengan perbuatan yang tercela atau buruk. Orang yang marah seolah jauh dari ajaran Islam. Marah selalu disematkan pada orang yang berangasan dan punya tingkatan emosi tak terkontrol.
Padahal, perlu kita sadari bahwa marah sesungguhnya tidak selalu buruk dan tercela. Pada suatu kondisi tertentu, ada marah yang terpuji dan dianjurkan. Baginda Rasulullah SAW pun bisa marah, tentu semata-mata karena Allah SWT.
Dalam sebuah hadits Nabi SAW diriwayatkan bahwa :
“Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah dilanggar, ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain juga dinyatakan:
“Tidaklah Rasulullah SAW membalas karena dirinya kecuali kehormatan Allah SWT dilanggar sehingga beliau pun marah,” (HR. Imam Bukhari).
Sahabat Jabir ra. juga pernah menuturkan :
“Rasulullah SAW, bila marah, dua matanya berwarna merah, suaranya meninggi dan kemarahannya mengeras hingga seperti seorang komandan memperingatkan pasukannya,” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Karena itu, dalam banyak hal kita pun harus marah, misalnya: saat kehormatan Islam dilecehkan, saat orang-orang kafir mengolok-olok Islam, saat orang-orang liberal mengacak-acak Al-Quran, saat para penguasa membuat UU yang bertentangan dengan Islam dan melakukan berbagai kezaliman, saat saudara-saudara sesama Muslim dihinakan bahkan dibantai tanpa belas kasihan, dan sebagainya.
Marahlah dalam hal tersebut karena marah yang demikian bukan hanya diperbolehkan tapi diharuskan. Seperti dikatakan dalam hadits Nabi ketika kita melihat sebuah kemungkaran.
“Barang siapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tanagn (kekuasaan), jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisan (dakwah), dan jika tidak mampu maka dengan hati meski itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Lalu sudahkah kita marah akan kondisi kemungkaran yang merajalela saat ini? Sudahkah kita bertindak mengatasi kemunkaran itu lewat kekuasaan yang kita miliki atau lewat lisan kita?
Setidaknya sudahkah hati kita membencinya?
Jika tidak ada rasa marah sedikitpun, masihkah iman ada di hati kita?