Pojok Islam - Saya mulai cerita motivasi tentang anak kita perhiasan, ujian atau musuhkah kali ini dengan illustrasi beberapa kisah nyata yang terjadi baru-baru ini dinegeri kita.
Beberapa waktu lalu, sebuah stasiun TV swasta menayangkan Lalu Muhammad Khaerrazzaq Al Hafiz, juara hafidz qur’an 10 juz tingkat Asia Pasifik begitu fasih dan lancar membaca ayat-ayat Qur’an. Saya saja yang bukan apa-apanya begitu terharu dan larut dalam suasana kebathinan yang begitu mendalam.
Beberapa waktu lalu, sebuah stasiun TV swasta menayangkan Lalu Muhammad Khaerrazzaq Al Hafiz, juara hafidz qur’an 10 juz tingkat Asia Pasifik begitu fasih dan lancar membaca ayat-ayat Qur’an. Saya saja yang bukan apa-apanya begitu terharu dan larut dalam suasana kebathinan yang begitu mendalam.
Ada lagi cerita tentang putri seorang sopir yang berhasil lulus dari Universitas terkemuka di Jawa Tengah dengan predikat Cum-Laude.
Di waktu yang lain, ada cerita nyata tentang seorang anak menuntut ibunya yang telah tua renta ke meja hijau karena ibunya disangkakan telah menebang pohon jati kecil di tanah yang diklaim telah dibeli anak tersebut dari ibunya.
Lain lagi sebuah kisah pilu dari Sumatera Barat, dimana seorang anak dengan begitu teganya membunuh ibu kandungnya, hanya lantaran si ibu mengingatkan si anak untuk sholat jum’at. Na’uu dzubillaah.
Beberapa kisah dan cerita nyata tadi,
hanyalah sebagian kecil dari kisah dan problem anak dan orang tua yang terjadi dalam
situasi dan dimensi keluarga yang berbeda.
Dan,
dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, memang berat sekali tantangan yang
dihadapi orang tua dalam mendidik dan mengarahkan putra-putrinya menjadianak
yang shaleh dan shalehah. Banyak harapan yang tidak sesuai kenyataan, dan ini
sudah Allah ingatkan didalam al-Quran, diantaranya firman Allah :
1.
Anak
sebagai hiasan (surat al-Kahfi : 46) :
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ
خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
2. Anak
sebagai ujian (surat al-Anfaal : 25)
وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah
bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”.
3. Anak
sebagai musuh (surat at-Taghabuun : 14) :
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٲجِكُمۡ وَأَوۡلَـٰدِڪُمۡ عَدُوًّ۬ا لَّڪُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
Kita
kadang terlena dengan cerita dan stigma yang salah, bahwa harta benda dan anak-anak kelak
akan jadi tameng dan pelindung serta pembela bagi kita. Bahwa dengan harta
benda, kita bisa melakukan apapun yang kita inginkan. Kita bisa membeli hukum,
bisa menguasai orang lain, bahkan kita bisa menguasai situasi dengan harta
berlimpah.
Tapi
pernahkah kita berfikir bahwa hal itu tidak berlaku dalam konteks ukhrawi
setelah kematian kita kelak..???
Bisakah
kita membeli hukum dihadapan pengadilan Tuhan..??
Karena
di hadapan Allah ‘Azza wajalla, harta yang akan jadi penolong dan wasilah (perantara/sarana)
guna mendapat ridho-Nya adalah harta yang ditasarrufkan (dibelanjakan) untuk
hal-hal ketaqwaan.
Begitu
pula dengan anak keturunan, hanya anak yang shaleh yang akan memberi manfaat
pada orang tuanya.
Tentu
ini tidak terjadi dengan hanya berucap “sim-salabim abrakadabra”, melainkan
melalui pendidikan yang benar yakni pendidikan agama yang cukup.
Hanya
pendidikan agama yang cukup yang akan mampu menciptakan karakter keshalehan
pada diri anak.
Anak
bisa saja kita arahkan dan kita setting untuk menjadi seorang pengusaha,
birokrat, tekhnokrat, ilmuwan, dan lain-lain. Tetapi membentuk karakter suka
beribadah dan ber-akhlakul karimah harus ditanamkan sejak dini, agar kelak
orang tua tidak dimintai pertanggung jawaban yang berat perihal anaknya kelak
diakhirat.
Akhirnya
semua berpulang kepada kita selaku orang tua, mau dijadikan apa anak kita. Apa kah anak kita perhiasan, fitnah atau musuhkah kelak..?? Kita
yang membentuk pribadi dan karakter awalnya.
Untuk
bahan renungan bagi kita orang tua, sebuah atsar (perkataan) sahabat :
“Telah dikabarkan kepada kami bahwa seorang anak
akan tergantung di leher ayahnya pada hari kiamat nanti. Lalu dia berkata:
‘Wahai Rabbku, ambillah hakku dari orang yang menzhalimiku ini!’ Sang ayah
berkata: ‘Bagaimana aku menzhalimimu, sedangkan aku telah memberimu makan dan
pakaian?’ Sang anak berkata: ‘Benar, engkau telah memberiku makan dan pakaian,
tetapi engkau melihatku melakukan maksiat dan engkau tidak melarangku.'” (Dikutip
dari makalah syeikh Athiyyah Shaqr di majalah Az-Zahur, Sya’ban
1420 H)