UJIAN ITU BERNAMA : KEKAYAAN DAN KEMISKINAN | Cerita Motivasi Islam Teladan

Pojok Islam - Tak bisa kita sangkal bahwa saat ini banyak stigma masyarakat yang terlanjur kuat tentang tolok ukur mulia dan hinanya seseorang sebab kekayaan yang mereka miliki. Bila seseorang berlimpah harta maka ia diaanggap mulia dan akan dihormati, sebaliknya jika seseorang didera kemiskinan dan kefakiran, ia akan dipandang remeh dan hina di tengah-tengah masyarakat. 
Begitulah sifat umum yang dimiliki manusia saat ini, sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Fajr ayat 15 - 16  yang artinya :


"Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku. Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, "Tuhanku telah menghinakanku.”

Maka tak heran jika kemudian banyak orang berlomba-lomba berusaha memperkaya diri dengan berbagai cara. Kasus terakhir yang tengah heboh dinegeri ini yakni Kasus Dimas Kanjeng di Jawa Timur, dimana begitu mudahnya orang terbuai dengan janji uang yang disetorkan bisa berlipat ganda dalam waktu singkat. Sungguh suatu hal yang sangat tidak masuk akal bagi orang yang berfikir panjang dan rasional.

Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya. Yang dilarang adalah menjadikan harta sebagai tujuan dan bukan sebagai sarana berbuat kebajikan. Pada saat seseorang dalam posisi kaya dan kekayaannya ia belanjakan dijalan Allah, maka disanalah sesungguhnya letak kemuliaan.
Karena Allah dapat  menghinakan seseorang dengan hartanya, sebaliknya Allah bisa memuliakan seseorang sebab kefakirannya.

Dalam sebuah hadits Nabi SAW diriwayatkan dari Abu Hazim dari ayahnya dari Sahl berkata, suatu ketika lewatlah seorang kaya dihadapan Nabi SAW. 
Beliau bertanya kepada para sahabat,"Bagaimana pendapat kalian tentang orang itu?"
Mereka menjawab,"Sungguh, jika dia melamar akan diterima, apabila meminta tolong akan ditolong dan apabila dia berbicara akan didengar."
Nabi lalu terdiam dan kemudian beberapa saat lewatlah orang muslim yang fakir. Nabi kemudian bertanya,"Bagaimana pendapat kalian tentang orang ini?"
Para sahabat menjawab,"Sungguh jika dia melamar akan ditolak, jika meminta tolong tidak ada yang mau menolong dan jika dia  berbicara tidak akan ada yang mau mendengar."
Lalu Nabi bersabda,"Padahal orang ini lebih baik sepenuh bumi daripada orang yang pertama." (HR. Imam Bukhari dan Ibnu Majah)


Dimata manusia kemiskinan sering dianggap sebuah ujian, dan harta kekayaan dianggap sebagai sebuah keberuntungan.
Padahal hakikatnya keduanya berpotensi bisa menurunkan bahkan melunturkan kadar keimanan dan ketakwaan seseorang. Kakayaan dan kemiskinan adalah ujian buat manusia.

Harta berpotensi melalaikan seseorang dari beribadah kepada Allah serta bisa membuat seseorang menjadi sombong, pelit, serta kemnaksiatan lainnya. 
Dan inilah yang dimaksud bahwa harta benda dapat menjadi modal memasuki gerbang neraka.

Sebaliknya kemiskinan juga berpotensi menjerumuskan seseorang dalam jurang kemaksiatan bagi mereka yang tidak mau bersabar dalam kefakirannya. Terkadang memilih jalan pintas mendapatkan harta dengan jalan sesat dan haram, atau ada yang memilih jalan ekstrim mengakhiri hidupnya karena putus asa. Orang seperti inilah yang mendapat kerugian berganda, susah di dunia dan celaka di akhirat. 

Kalau orang boleh memilih, tentu ia akan memilih diuji dengan kekayaan. Namun sayangnya manusia tidak bisa memilih takdirnya. Kita hanya diperintahkan berdo'a dan berusaha lalu selebihnya adalah hak prerogatif Allah.

Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkata lewat untaian kalimat hikmahnya:

"Kaya dan miskin adalah dua kendaraan. Aku tidak peduli kendaraan mana yang aku tumpangi. Kalau kendaraannya kemiskinan maka padanya ada kesabaran, dan kalau kendaraannya kekayaan maka didalamnya ada kedermawanan."

Ditangan orang yang bersyukur, harta bisa menjadi wasilah untuk mengejar keutamaan yang sesungguhnya. Namun itu tidak akan mengurangi keutamaan orang fakir yang pandai bersyukur. 
Siapapun dia, mempunyai kesempatan yang sama dalam meraup pahala asal disertai dengan istiqomah.
Sebab mulia dan hina bukan dilihat dari kedudukan dan kekayaan, tetapi bagaimana menjalani semua dengan penuh keimanan.